Kemuliaan Bulan Ramadhan
Jum'at, 26 Juni 2015 11:08 WIB
Ramadhan kembali hadir di tengah-tengah kita. Kaum Muslimin menyambutnya dengan perasaan gembira. Hanya saja, sebagian menyambutnya dengan rasa syahdu, sementara yang lain menyambutnya sebatas sebuah tradisi yang dijalankan setiap tahun.

Sebagian menjadikan Ramadhan sebagai sarana perbaikan diri, sementara yang lain tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari bulan yang luar biasa ini, selain lapar, haus, dan letih belaka. Sungguh sayang sekiranya kita berpuasa sebulan penuh tapi tidak ada perbaikan diri yang dicapai saat keluar dari bulan yang mulia ini.

Bulan Ramadhan memiliki banyak kemuliaan. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Ramadhan adalah penghulu dari sebelas bulan yang lain. Hanya orang yang mengenal keistimewaan Ramadhan saja yang akan menyambutnya dengan penuh suka cita bila Ramadhan tiba.

Menjelang bulan Ramadhan Rasulullah SAW senantiasa mengumpulkan para sahabat. Rasulullah kemudian menyampaikan kepada mereka hikmah dan kemuliaan Ramadhan dan puasa. Ini dilakukan Rasulullah dalam rangka mengingatkan kaum muslimin akan datangnya bulan penuh berkah. Beliau menempa semangat para sahabat agar mereka bergembira dan menyongsong sepenuh hati kedatangan bulan Ramadhan. Beliau memberikan pembelajaran dan pemahaman ilmu serta menyiapkan mental para sahabat.

Kemuliaan Bulan Ramadhan

Beberapa kemuliaan dari bulan Ramadhan dan puasa di bulan Ramadhan adalah sebagai berikut:


1. Ramadhan sebagai Syahrul Ibadah (Bulan Ibadah)

Puasa merupakan ibadah yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan ibadah lainnya

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ


Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Setiap satu amal kebaikan anak Adam dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat hingga 700 kali lipat. Allah swt ‘azza wa jalla berfirman: “Kecuali puasa karena ia untuk saya maka saya yang akan membalas untuknya karena ia telah mengabaikan syahwat dan makanannya demi saya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika ia berbuka dan kegembiraan ketika ia berjumpa dengan tuhannya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan dengan bau minyak kasturi.” (H.R. Muslim)

Salah satu keutamaan puasa menurut hadits di atas adalah bahwa untuk puasa Allah sendiri yang akan membalasnya. Kalimat tersebut menurut Ibnu Atsir telah dita’wilkan oleh para ulama dengan beragam. Namun inti dari makna tersebut adalah puasa merupakan rahasia antara Allah dengan seorang hamba dan tidak nampak dari orang lain. Dengan demikian orang yang benar-benar berpuasa tidak mungkin melakukan kecuali ia ikhlas untuk taat.

Beliau juga menjelaskan bahw takwil yang menurutnya paling baik tentang hadits tersebut bahwa semua ibadah yang dijadikan sarana manusia untuk bertaqarrub kepada Allah swt seperti shalat, puasa, sedekah, i’tikaf, menyendiri, doa, kurban dll telah digunakan oleh orang-orang musyrik untuk menyembah tuhan-tuhan mereka dan apa-apa yang mereka jadikan sekutu atas Allah. Tidak terdengar satupun dari kelompok orang-orang musyrik di masa lampau yang menyembah dan bertaqarrub kepada tuhan-tuhan mereka dengan puasa. Puasa tidak dikenal kecuali berasal dari syariat.

Oleh karena itu Allah swt berfirman: puasa itu untukku dan aku yang akan membalasnya. Artinya tak seorang pun yang menyekutukan Aku dalam puasa dan selain Aku tidak ada yang disembah dengan puasa. Oleh karena itu hanya Aku yang membalasanya oleh diri-Ku dan tidak mewakilkan kepada seseorang yang disembah atau selainnya karena ia khusus untuk-Ku.

An-Nawawy menambahkan bahwa frase “saya yang akan membalasnya” menunjukkan besarnya keutamaan puasa dan besarnya pahala yang diperoleh darinya. Hal ini karena jika Allah yang menginformasikan bahwa Ia sendiri yang akan membalasnya. Ini menunjukkan besarnya kadar pahala dan luasnya pemberian terhadapnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“bau mulut orang yang berpuasa di Hari Kiamat nanti lebih harum di sisi Allah dibandingkan dengan bau kasturi” (An-Nawawy, Syarhu an-Nawâwy ‘ala Muslim, VIII/29)

2. Ramadhan sebagai Syahrul Huda (Bulan Petunjuk)
Bulan Ramadhan adalah bulan petunjuk, karena di bulan ini Alqur’an di turunkan. Allah SWT berfirman:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Q.S Al Baqarah [2]: 185)

Pada bulan ini Al Qur’an benar-benar turun ke bumi untuk menjadi pedoman hidup manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia. Rasulullah SAW sendiri, ketika memasuki bulan Ramadhan bertadarus Al Qur’an bersama malaikat Jibril a.s.

3. Ramadhan sebagai Syahrul Ghufran (Bulan Penuh Ampunan)
Rasulullah SAW bersabda:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Abu Hurairah berkata kepada mereka: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka (dosanya) yang lalu akan diampuni dan barangsiapa yang menunaikan shalat malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim)

Makna imânan pada hadits tersebut menurut an-Nawawy adalah pembenaran bahwa ia benar-benar bermaksud memperoleh kemuliaannya. Sementara ihtisâban berarti ia hanya menginginkan Allah semata dan bukan dimaksudkan untuk riya kepada manusia dan hal-hal lain yang bertentangan dengan sifat-sifat ikhlas. Maksud dari qiyamu ramadhan adalah melaksanakan shalat tarawih yang telah disepakati oleh para ulama tentang kesunnahannya. Hal senada dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa al-imân pada hadits tersebut bermakna keyakinan terhadap kebenaran wajibnya puasa dan al-ihtisâb bermakna mengharap pahala dari Allah swt.

“Sholat yang lima waktu, Jum’at ke Jum’at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang waktu tersebut jika menjauhi dosa besar.” (HR Muslim)


Jadi bulan ini adalah kesempatan bagi kita untuk meminta ampunan dengan taubatan nasuhah kepada Allah SWT agar kita terbebas dari dosa-dosa.

4. Ramadhan sebagai Syahrul Salam (Bulan Keselamatan)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ.

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila masuk bulan Ramadlan pintu rahmat dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Nawawy mengatakan: Menurut Qadhy Iyyad rahimahullah hadits ini bermakna lahir dan hakikat. Makna hakekatnya adalah pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan dibelenggu merupakan tanda masuknya bulan Ramdlan dan besarnya penghormatan atas bulan tersebut. Belenggu atas setan adalah mereka tercegah untuk menyakiti dan memperngaruhi orang-orang beriman.


Makna Majaz hadits tersebut adalah isyarat atas banyaknya pahala dan pengampunan dan setan memiliki sedikit peluang untuk menggoda dan menghinakan kaum mu’min. dengan demkian mereka seperti terbelenggu dan belenggu mereka adalah sesuatu yang lain dan manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits di atas bahwa pintu rahmat dibuka dan dalam riwayat yang lain dikatakan kedurhakaan mereka dibelenggu.


Al Qadli berkata: maksud pintu syurga dibuka adalah Allah membukakan bagi hamba-Nya berbagai ketaatan di bulan ini yang tidak terjadi dibulan lain secara umum seperti puasa, shalat malan dan berbagai kebaikan lainnya serta mencegah dari berbagai pelanggaran. Dan hal tersebut menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga dan pintunya demikian pula penutupan pintu neraka dan belenggu atas setan merupakan ungkapan atas tercegahnya seseorang dari berbagai pelanggaran.

5. Puasa Ramadhan sebagai Benteng dan Perisai dari Api Neraka

عن أبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ اللهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائمٌ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah swt berfirman: “Setiap perbuatan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, maka ia adalah untuk saya dan saya yang akan membalasnya. Puasa itu adalah perisai. Jika seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berbicara cabul, berbuat gaduh. Jika ada yang mengejeknya atau memeranginya maka hendaklah ia berkata saya sedang berpuasa. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangannya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: ketika ia berbuka puasa maka ia bergembira dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya maka ia bergembira dengan puasanya.” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).

Ibnu Hajar telah merangkum pendapat para ulama mengenai makna junnah. Junah menurut Ibnu Abdi al-Bâr adalah pelindung dari api neraka. Penulis kitab an-Nihayah mengartikannya sebagai pelindung bagi pelakunya dari hal-hal yang menyakiti dirinya akibat syahwat. Sementara al-Qurthuby berpendapat bahwa puasa merupakan pelindung jika dilakukan sesuai syariat sehingga orang yang berpuasa seharusnya melindungi dirinya dari hal-hal yang dapat merusak dan mengurangi pahalanya sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Jika kalian berpuasa maka janganlah kalian berkata keji…dst. Makna junnah juga berarti pelindung berdasarkan faidahnya yaitu melemahkan syahwat.

Kata tersebut juga dapat diartikan pelindung berdasarkan apa yang diperoleh berupa pahala dan dilipatgandakannya amal. Hal senada juga dinyatakan oleh Qadhi Iyyad dalam al-Ikmal bahwa puasa merupakan pelindung dari dosa atau dari api neraka atau keduanya. Makna yang terakhir juga dikuatkan oleh an-Nawawy. Ibnu al-Araby berpendapat puasa merupakan perisai dari api neraka karena ia menahan diri dari syahwat sementara neraka itu diliputi oleh syahwat. Dengan demikian jika seseorang menahan dirinya dari syahwat di dunia maka hal tersebut menjadi pelindung baginya dari api neraka di akhirat.” Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah saw:

الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ

“Puasa adalah perisai api neraka sebagaimana perisai kalian dalam peperangan.” (HR. al-Khuzaimah. Al-’Adzmaiy berkata: sanadnya shahih)

Allah swt memberikan keistimewaan bagi orang-orang yang gemar berpuasa di Hari kiamat nanti.

عن سَهْلٍ رضي الله عنه، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرَّيَّانُ، يدْخلُ مِنْهُ الصَّائمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ: أَيْنَ الصَّائمُونَ، فَيَقُومُونَ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Dari Sahal r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda: “Sesunguhnya di surga terdapat sebuah pintu yang dinamakan ar-Rayyan. Yang masuk di dalamnya adalah oran-orang yang berpuasa dan selain mereka tidak dapat masuk. Dikatakan: Dimana orang-orang yang berpuasa? Mereka pun berdiri dan tidak seorang pun dapat masuk ke dalamnya kecuali mereka. Ketika mereka masuk maka pintu itu pun tertutup sehingga tak seorang pun yang dapat masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan an-Nasai)

6. Orang-orang Yang Berpuasa tidak akan di tolak Doanya oleh Allah SWT

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ تُحْمَلُ عَلَى الْغَمَامِ وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكَ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ

“Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya: Imam yang adil, orang yang berpuasa hingga ia berbuka dan dan orag orang yang didzalimi. Doanya diangkat ke awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Tuhan azza wa jalla berfirman: demi kemuliaanku saya pasti menolong engkau setelah ini. (H.R. Ahmad. Menurut al-Arnauth shahih, ibnu Hibban, al-Baihaqy)

7. Ramadhan Sebagai Syahrul Jihad (Bulan Perjuangan)

Berjuang disini adalah berjuang untuk melawan hawa nafsu. Rasulullah SAW bersabda:

Barangsiapa diantara kalian yang sanggup maka menikahlah karena ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena ia merupakan wijâ’ (pemutus syahwat). (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasai dan at-Tirmidzy)

Puasa exsistensinya dan substansialnya adalah menahan dorongan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol sampai bisa mencapai ketaatan kepada Allah SWT. Telah jelas bahwa puasa telah memiliki pengaruh yang menakjubkan untuk orang-orang yang menjalankannya baik untuk badannya dan kekuatan batinnya.

Berjuang disini juga perjuangan untuk berjihad di jalan Allah.

8. Ramadhan sebagai Syahrul Fath (Bulan Kemenangan)

Di bulan Ramadhan banyak sekali peperangan-peperangan yang dimenangkan oleh kaum muslimin. Hal ini dikarenakan selain berjihad adalah suatu kewajiban dan sesungguhnya orang yang berjihad itu memilih satu diantara dua kebaikan yakni “Menang, hidup mulia dan berkuasa atau mati syahid, masuk syurga tanpa hisab“. Selain itu ketika di bulan Ramadhan kondisi spiritual kaum muslimin sedang berada di puncak.

Banyak sekali riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan berjihad di bulan Ramadhan.

“Tidaklah seorang hamba ber­puasa dalam satu hari dalam jihad fi sabilillah melainkan padahari itu Allah menjauhkan wajah­nya dari neraka sejauh perja­lanan 70 tahun.” (HR Imam Bukhâri, Muslim, at-Tirmidzi)

“Siapa saja yang shaum satu hari didalam jihad fi sa­bilillah niscaya Allah menjauhkan antara dia dan neraka dengan satu parit yang luasnya seluas langit dan bumi.” (HR. ath-Thabrani)

Bahkan bagi kaum muslimin yang bertugas di front terdepan menjaga perbatasan negeri Islam dan senantiasa menghadapi an­caman tentara kafir, Allah SWT memberikan penghargaan yang luar biasa yang tak bakal bisa diberikan oleh siapa pun selain Dia. Rasulullah Saw bersabda:

“Maukah kukabarkan kepada kalian tentang suatu malam yang lebih utama dari pada Lailatul Qadar? Dia adalah malamnya seorang pengawal yang sedang mengawal pasukan kaummus­limin yang sedang istirahat di tanah perkemahan yang mena­kutkan sehinggadia merasa seolah-olah dia tidak akan kem­bali kepada keluarganya.” (HR. al-Hâkim dengan syarat Bukhâri)

Kalau demikian mulianya berjihad di bulan Ramadhan, beruntunglah saudara-saudara kita yang sedang berjibaku di medan tempur di negeri-negeri mereka yang diserang oleh kaum kafirin seperti di Phili­pina, Kasymir, Palestina, Afghanistan, dan Irak! Juga ber­untunglah setiap penguasa yang tergerak hatinya, atas dasar iman dan kesungguhan mencari ridho Allah (imanan wahtisâban) yang mengirimkan tentara-tentara ka­um muslimin dariangkatan ber­senjata yang mereka miliki untuk membebaskan kaum muslimin dannegeri-negeri mereka dari cengkeraman kaum kafirin. Se­bab sudah menjadi kewajiban penguasa muslim untuk menolong saudara-saudara mereka —sekalipun bukan warga negara­nya— dari keganasan kaum kafirin. Allah SWT berfirman:

“Jika merekameminta tolong kepadamu atas dasar agama mereka, maka kalian wajib menolongnya.” (Qs. al-Anfâl [8]: 72).

Ya, sebagaimana dulu khalifah al-Mu’tashim Billah telah membe­baskan daerah Samaria dari pe­nguasa kafir setelah terjadi pe­lecehan terhadap seorang wanita muslimah oleh pejabat kota terse­but. Khalifah mengirim pasukan yang besar sekali, dimana ujung­nya telah sampai di kota Samaria (daerah Syam) dan pangkalnya di kota Baghdad.

Perang-Perang di Bulan Ramadhan
Peperangan Badar
Peperangan Wadi al-Qura
Pembukaan Kota Mekah dan Pemusnahan Patung Berhala
Penaklukan Sepanyol
Menghancurkan Pemerintah Babak al-Khurmi
Menghancurkan Pemerintahan Anthokiah
Kejayaan Menentang Tentera Salibiyah
Kejayaan ke Atas Tentera Mongol
Kualitas Puasa Ramadhan
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya’ Ulumiddin” membagi kualitas puasa menjadi tiga, yaitu

(1)    Puasa awam, yaitu sebatas menahan makan, minum dan syahwat kepada lawan jenis, di siang hari bulan Ramadhan;

(2)    Puasa khawash, yaitu puasa badan dari yang haram, menahan mata dari yang haram, menahan tangan dari yang tidak hak, menahan langkah kaki dari jalan menuju yang haram, menahan telinga dari mendengarkan yang haram termasuk ghibah; dan

(3)    Puasa khawashul khawash, yaitu mengikat hati dengan kecintaan kepada Allah swt tanpa memperhitungkan selain-Nya, membenci prilaku maksiat kepada-Nya, dan hanya menyibukkan hati dengan ketaatan kepada-Nya.

Kalau kita menyimak ayat tentang perintah pusa, kita akan menemukan tujuan sesungguhnya dari puasa. Tujuan puasa Ramadhan adalah membentuk individu-individu yang selalu bertaqwa kepada Allah SWT. Allah SWT telah berfirman, artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana puasa itu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Qs. al-Baqarah [2]: 183).

Seorang mufassir ternama, Imam Ibn al-‘Arabi, menjelaskan makna firman Allah SWT, “la’allakum tattaqûn” sebagai berikut, “Dalam menafsirkan frasa ini, para ulama tafsir terbagi menjadi tiga pendapat. Pertama, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan la’allakum tattaqûn adalah la’allakum tattaqûn mâ hurrima ‘alaikum fi’luhu (agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan kepada kalian). Kedua, ada yang berpendapat bahwa, la’allakum tattaqûn bermakna la’allakum tudl’ifûn fa tattaqûn (agar kalian menjadi lemah, sehingga kalian menjadi bertaqwa). Sebab, ketika seseorang itu sedikit makannya maka syahwatnya juga akan lemah, ketika syahwatnya melemah maka makshiyyatnya juga akan sedikit. Ketiga, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan firman Allah SWT la’allakum tattaqûn, adalah la’allakum tattaqûn ma fa’ala man kâna qablakum (agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kalian [Yahudi dan Nashrani]).” (Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, jld 1, hal. 108)

sumber : muslimahactivity

Blog Populer